Jumat, 10 Desember 2010

"all about love"

Oleh Anis Matta

Mari kita bicara tentang orang-orang patah hati. Atau kasihnya tak sampai. Atau cintanya tertolak. Seperti sayap-sayap Gibran yang patah. Atau kisah Zainuddin dan Hayati yang kandas ketika kapal Vanderwicjk tenggelam. Atau cinta Qais dan Laila yang membuat mereka ‘majnun’, lalu mati. Atau, jangan-jangan ini juga cerita tentang cintamu sendiri, yang kandas dihempas takdir, atau layu tak berbalas.
 Itu cerita cinta yang digali dari mata air air mata.

Dunia tidak merah jambu di sana.

Hanya ada Qais yang telah majnun dan meratap di tengah gurun kenestapaan sembari memanggil burung-burung:
"O burung, adakah yang mau meminjamkan sayap Aku ingin terbang menjemput sang kekasih hati".
Mari kita ikut berbela sungkawa untuk mereka. Mereka orang-orang baik yang perlu dikasihani. Atau jika mereka adalah kamu sendiri, maka terimalah ucapan belasungkawaku, dan belajarlah mengasihani dirimu sendiri.

Di alam jiwa, sayap cinta itu sesungguhnya tak pernah patah. Kasih selalu sampai di sana. “Apabila ada cinta di hati yang satu, pastilah ada cinta di hati yang lain,” kata Rumi, “sebab tangan yang satu takkan bisa bertepuk tanpa tangan yang lain.” Mungkin Rumi bercerita tentang apa yang seharusnya. Sementara kita menyaksikan fakta lain.

Kalau cinta berawal dan berakhir pada Allah, maka cinta pada yang lain hanya upaya menunjukkan cinta pada-Nya, pengejewantahan ibadah hati yang paling hakiki:
"selamanya memberi yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai".
Dalam makna memberi itu kita pada posisi kuat: kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah dan melankolik saat kasih kandas karena takdir-Nya. Sebab di sini kita justru melakukan pekerjaan besar dan agung: mencintai.Ketika kasih tak sampai, atau uluran tangan cinta tertolak, yang terjadi sesungguhnya hanyalah “kesempatan memberi” yang lewat. Hanya itu. Setiap saat kesempatan semacam itu dapat terulang. Selama kita memiliki “sesuatu” yang dapat kita berikan, maka persoalan penolakan atau ketidaksampaian jadi tidak relevan. Ini hanya murni masalah waktu. Para pencinta sejati selamanya hanya bertanya: “apakah yang akan kuberikan?” Tentang kepada “siapa” sesuatu itu diberikan, itu menjadi sekunder.

Jadi, kita hanyalah patah atau hancur karena kita lemah. Kita lemah karena posisi jiwa kita salah. Seperti ini: kita mencintai seseorang, lalu kita menggantungkan harapan kebahagiaan hidup dengan hidup bersamanya! Maka ketika dia menolak hidup bersama, itu lantas menjadi sumber kesengsaraan. Kita menderita bukan karena kita mencintai. Tapi karena kita menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada kenyataan bahwa orang lain mencintai kita.

Pengalaman batin para pahlawan dengan mereka ternyata jauh lebih rumit dari yang kita bayangkan. Apa yang terjadi, misalnya, jika kenangan cinta hadir kembali di jalan pertaubatan seorang pahlawan? Keagungan! Itulah misalnya pengalaman batin Umar bin Abdul Aziz. Sebenarnya, Umar seorang ulama, bahkan seorang mujahid. Namun, ia besar di lingkungan istana Bani Umayyah, hidup dengan gaya hidup mereka, bukan gaya hidup seorang ulama. Ia bahkan menjadi trendsetter di lingkungan keluarga kerajaan. Shalat jamaah kadang ditunda karena ia masih sedang menyisir rambutnya.

Namun, begitu ia menjadi khalifah, tiba-tiba kesadaran spiritualnya justru tumbuh mendadak pada detik inagurasinya. Ia pun bertaubat. Sejak itu, ia bertekad untuk berubah dan merubah dinasti Bani Umayyah. “Aku takut pada neraka,” katanya menjelaskan rahasia perubahan itu kepada seorang ulama tcrbesar zamannya, pionir kodifikasi hadits, yang duduk di sampingnya, Al-Zuhri. la memulai perubahan besar itu dari dalam dirinya sendiri, istri, anak-anaknya, keluarga kerajaan, hingga seluruh rakyatnya. Kerja keras itu membuahkan hasil; walaupun hanya memerintah dalam waktu 2 tahun 5 bulan, tetapi ia berhasil menggelar keadilan, kemakmuran dan kejayaan serta nuansa kehidupan zaman Khulal’a’ Rasyidin. Maka, ia pun digelari Khalifah Rasyidin Kelima.
Akan tetapi, semua  itu ada harganya. Fisiknya segera anjlok.
Saat itulah istrinya datang membawa kejutan besar; menghadiahkan seorang gadis kepada suaminya untuk dinikahinya (lagi). Ironis, karena Umar sudah lama mencintai dan sangat menginginkan gadis itu, juga sebaliknya. Namun, istrinya Fatimah, tidak pernah mengizinkannya; atas nama cinta dan cemburu. Sekarang, justru sang istrilah yang membawanya sebagai hadiah.

Fatimah hanya ingin membcrikan dukungan moril kepada suaminya. Itu saat terindah dalam hidup Umar, sekaligus saat paling mengharu-biru. Kenangan romantika sebelum saat perubahan bangkit kembali dan menyalakan api cinta yang dulu pernah membakar segenap jiwanya. Namun, cinta ini hadir di jalan pertaubatannya, ketika cita-cita perubahannya belum selesai. Cinta dan cita bertemu atau bertarung, di sini, di pelataran hati Sang Khalifah, Sang Pembaru.
Apa yang salah kalau Umar menikahi gadis itu? Tidak ada! Tapi,
“Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Saya benar-benar tidak merubah diri saya kalau saya masih harus kembali ke dunia perasaan semacam ini,” kata Umar.
Cinta yang terbelah dan tersublimasi di antara kesadaran psiko-spiritual, berujung dengan keagungan;
Umar memenangkan cinta yang lain, karena memang ada cinta di atas cinta!

Akhirnya, ia menikahkan gadis itu dengan pemuda lain. Tidak ada cinta yang mati di sini. Karena sebelum meninggalkan rumah Umar, gadis itu bertanya dengan sendu,
“Umar, dulu kamu pernah sangat mencintaiku. Tapi, kemanakah cinta itu sekarang?”
Umar bergetar haru, namun kemudian menjawab,
“Cinta itu masih tetap ada, bahkan kini rasanya jauh lebih dalam...!”




 Semangatttt!!!!!!!!!!
Innallaha ma'ana....

2 komentar: