Kamis, 21 Februari 2013

Kahlil Gibran

Sebagaimana cinta kasih menghidupkan hati manusia dengan pedih perih, demikian pula kedunguan mengajarinya jalan kearifan. Pedih perih dan kedunguan mengantarkan cita-cita agung dan kearifan nan adiluhung, sebab kearifan abadi tiada mencipta sesuatu yang sia-sia di bawah asuhan matahari.

Betapa sering aku menyalahkan diriku untuk kejahatan yang tidak aku kerjakan, agar orang lain merasa lega di hadapanku.

Apabila kamu melihat seorang laki-laki mabuk katakanlah dalam hatimu, “Barangkali dia mencoba lari dari sesuatu yang lebih buruk lagi.”

Baru kemarin aku pikir diriku sebuah fragmen bergetar tanpa irama dalam ruang kehidupan. Kini kutahu bahwa akulah ruang, dan semua kehidupan adalah fragmen-fragmen yang bergerak dalam diriku.

Manusia diberi kemampuan oleh Tuhan untuk berharap dan berharap, sampai kemudian dia berharap untuk mengambil kelopak kelalaian dari matanya, sehingga dapat menyaksikan diri sejati. Dan siapa yang menyaksiakan kebenaran dari kehidupan sejati untuk dirinya, untuk semua manusia dan alam semesta.

Sahabatmu adalah kebutuhan jiwamu yang terpenuhi. Dia ladang hati, yang dengan kasih kautaburi dan kau pungut buahnya penuh rasa terimakasih. Kau menghampirinya di kala hati gersang kelaparan, dan mencarinya di kala jiwa membutuhkan kedamaian. Jangan ada tujuan lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya jiwa.

Jiwa yang mencapai kesempurnaan mampu bersikap patuh meski akalnya memberontak, dan akal yang paling kacau akan memberontak terhadap apa yang dipatuhi oleh jiwa.

Kusadari semua yang pernah terjadi, bahwa hambatan untuk berdekatan denganmu muncul dari kekerdilan dan ketakutan dalam diriku.

Kesenangan adalah nyanyian-kebebasan, tetapi bukan kebebasan. Ia serukan dari kedalaman ke ketinggian. Ia adalah yang terkurung, mengambil sayap, tapi tak mampu mengarungi angkasa bebas.

Saya adalah seorang pendosa di mata Tuhan dan diri saya sendiri, ketika saya makan rotinya dan menawarkan kepadanya badan saya – demi kedermawaannya. Kini saya suci bersih, karena hukum cinta membebaskan manusia dan membuatku terhormat serta penuh keyakinan.

Kesunyian menyimpan semua yang ingin kita katakan dengan kasih sayang, semangat, dan dengan iman. Dan kesunyian, kalau tidak mengangkat doa-doa kepada Tuhan, akan membawanya ke mana pun kita inginkan.

Wahai, jika si bebal mengatakan bahwa jiwa akan lenyap seperti raga, jawabnya bahwa kembang pun akan sirna, sekalipun benih tetap ada. Itulah dalil ciptaan Tuhan.

Orang-orang berkata, jika ada yang dapat memahami dirinya sendiri, ia akan dapat memahami semua orang. Tapi aku berkata, jika ada yang mencintai orang lain, ia dapat mempelajari sesuatu tentang dirinya sendiri.

Kasih sayang dan kekerasan selalu berperang di hati manusia seperti malapetaka yang berperang di langit malam yang pekat ini. Tetapi kasih sayang selalu dapat mengalahkan kekerasan. Karena ia adalah anugerah Tuhan. Dan ketakutan-ketakutan malam ini akan berlalu dengan datangnya siang.

Sebagaimana cinta kasih menghidupkan hati insan dengan kepedihan demikian pula kedunguan mengajarinya mencari jalan kebijaksanaan. Rasa pedih dan bodoh mengantarkan insan kepada suka cita agung dan kearifan luhur, sebab Zat Yang Maha Agung tiada menciptakan sesuatu yang sia-sia.

Cinta – yang tak lain adalah Tuhan – akan menerima aroma nafas dan air mata kita seakan-akan ia adalah kepulan asap dupa, dan memberi pahala kepada kita sebagaimana mestinya.

Saya akan memberitahukan kepada anda sesuatu yang tidak bisa anda ketahui, makhluk seksual tertinggi di planet ini adalah para pecinta, penyair, pematung, pelukis, pemusik – yang demikian ini ada sejak dulu. Dan bagi mereka seks selalu indah dan senantiasa malu.

Kita hanyalah makhluk hidup, partikel-partikel debu yang beterbangan berputar-putar di dalam kehampaan abadi dan tak terhingga. Diri kita hanya untuk menyerah dan patuh. Jika kita mencintai, cinta kita juga tidak berasal dari kita, juga bukan kepunyaan kita. Sekiranya kita bahagia, kebahagiaan kita tidaklah dalam diri kita, tapi dalam kehidupan itu sendiri.

Di kesunyian ini, kita bisa mengutarakan kerinduan kita, sampai kerinduan itu membawa kita lebih dekat kepada hati Tuhan. Di sini kita bisa mencinta umat manusia sampai umat manusia membukakan hatinya kepada kita.

Berkali-kali aku telah membuat pertandingan antara keluhuran pengorbanan dan kebahagiaan pemberontakan untuk temukan mana yang lebih luhur dan lebih indah, namun hingga kini aku telah terpaku hanya pada suatu kebenaran dalam seluruh persoalan itu, dan kebenaran itu ialah kesetiaan, yang membuat seluruh perilaku kita jadi indah dan terhormat.

Kucintai desa kelahiranku dengan sebagian cintaku untuk negeri, kucintai negeriku dengan sebagian cintaku untuk bumi.

Perkawinan adalah penyatuan dua jiwa dalam cinta yang kokoh untuk hapuskan perpisahan. Ia adalah kesatuan agung yang terpisah roh. Ia adalah gelang emas dalam sebuah rantai yang permulaannya adalah sebuah pandangan, dan akhirnya adalah keabadian. Ia adalah hujan suci yang jatuh dari langit tak bernoda untuk menyuburkan dan memberkati ladang-ladang Alam Illahi.

Seseorang yang menerima memang tidak menginsafi apa yang diterimanya, tapi seseorang yang memberi dengan tulus dan menanggung beban dari kesadaran dirinya sendiri, akan menginsafi bahwa apa yang diberikannya dimaksudkan demi cinta persaudaraan, dan ke arah pertolongan yang bersahabat, bukan untuk pemuliaan-diri.

Hidup manusia tidak bermula dari dalam kandungan dan tak pernah berakhir di liang kubur. Dan cakrawala yang penuh oleh rembulan dan bintang-bintang ini tidaklah ditinggalkan oleh jiwa yang mencintai dan roh-roh yang berdasarkan gerak nurani.

Aku berdiri menatap manisnya rasa kasih dan pahitnya kedukaan yang tumbuh keluar dari pusara-pusara baru itu. Pusara pemuda yang menebus hidupnya untuk melindungi kehormatan seorang gadis suci dan lemah, serta menyelamatkannya dari cengkeraman serigala yang rakus.

Mereka berkata kepadaku, “Kamu harus memilih antara kesenangan di dunia ini dan kedamaian di akhirat nanti. Karena aku tahu dalam hatiku bahwa Sang Pujangga Agung hanya menggubah satu puisi, yang ditulis dengan sempurna dan mengalun dnegan sempurna".

"satu hal yang aku mengerti saat ini, bahwa hatiku telah patah..."

Minggu, 09 September 2012

Contoh aja







Rabu, 23 November 2011

Saat Berharga Untuk Anak KIta..

Kalau hari ini kita masih ingat agama, dan merelakan keringat kita di jalan-Nya, maka itu boleh jadi bukan keberhasilan kita. Kalau hari ini kita ingat tentang tanggung jawab sesudah mati, sangat mungkin bukan karena kebaikan yang sepenuhnya lahir dari kesadaran kita. Boleh jadi itu semua bukan merupakan prestasi kita sendiri, melainkan justru terutama orangtua kita. Mereka menanam benih-benihnya, lalu tumbuh mengakar di dada kita. Atau para guru kita yang tulus menyemainya, lalu Allah kokohkan dalam hati kita.
Historia vitae magistra, begitu kata pepatah. Sejarah atau pengalaman adalah guru terbaik kehidupan. Orang-orang yang mengambil pelajaran dari mereka yang telah mendahului kita, Insya Allah akan tahu bagaimana memaknai tugas hidup sebagai orangtua. Dari perjalanan saya ke timur dan ke barat, saya melihat betapa tak bergunanya kebanggaan terhadap kreativitas dan kecerdasan anak, ketika mereka tidak tahu jalan hidup yang harus ditempuh. Bahkan ilmu agama yang tinggi pun akan sia-sia kalau mereka tidak mempunyai harga diri yang bersih serta tujuan hidup yang pasti. Betapa banyak anak-anak yang memiliki keluasan ilmu agama, tetapi karena kita salah menanamkan tujuan, mereka justru menjadi pembawa kesesatan dengan ilmu yang ada pada dirinya.
Ada hadis yang sangat sering kita ingat, tetapi sangat jarang menjadi landasan kita dalam berbuat. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam pernah mengingatkan kita, “Sesungguhnya setiap amal tergantung dari niatnya—dalam riwayat lain: tergantung dari niat-niatnya—dan sesungguhnya setiap orang hanya memperoleh apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya (diniatkan) kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya (diniatkan) kepada dunia yang ingin diraihnya atau perempuan yang ingin dinikahinya, maka (nilai) hijrahnya adalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya itu” (H.r. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi & an-Nasa’i).
Banyak orangtua yang berhasil mendidik anaknya bukan karena kepandaiannya mendidik anak, tetapi karena doa-doa mereka yang tulus. Banyak orangtua yang caranya mendidik salah jika ditinjau dari sudut pandang psikologi, tetapi anak-anaknya tumbuh menjadi penyejuk mata yang membawa kebaikan dikarenakan amat besarnya pengharapan orangtua. Di antara mereka ada yang selalu membasahi penghujung malam dengan airmata untuk merintih kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Di antara mereka ada pula yang menyertai langkah-langkahnya dengan niat yang lurus dan bersih.
Kadang seperti tak berkait langsung. Tetapi amal bergantung pada niatnya. Seorang ibu menyedekahkan hartanya karena mengharap ridha Allah dan penjagaan iman atas anak-anaknya, lalu Allah tegakkan dinding di hati anak sehingga tak terjangkau oleh kerusakan yang ada di sekitarnya. Boleh jadi seorang istri bersikeras meminta suaminya menyucikan harta, lalu Allah sucikan hati anak-anak mereka dari keruhnya hati dan kotornya pikiran. Boleh jadi pula ada bapak-bapak yang sibuk dengan perkara yang seakan tak bersentuhan dengan agama, tetapi sesungguhnya ia sedang menolong agama Allah, sehingga Allah berikan pertolongan kepada mereka. Allah datangkan pertolongan kepada mereka dengan jalan yang tak terduga.
Teringatlah saya dengan firman Allah, Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, pasti Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (Q.s. Muhammad [47]: 7).
Ya Allah, alangkah masih sering lalai hati kita. Kita berbuat, tapi tanpa berniat. Bahkan di saat kita sedang sibuk berbicara agama pun, yang memenuhi hati seringkali bukan niat yang bersih. Akibatnya hati kita risau dan jiwa kita gelisah. Alih-alih membincangkan agama, yang ada justru perdebatan yang mengeraskan hati. Inilah antara lain yang menyebabkan sebagian ulama hilang kharismanya.
Astaghfirullahal ‘adzim. Laa haula wa laa quwwata illa billah.
Di zaman ketika wibawa sebagian ulama semakin rapuh, rasanya kita perlu menguatkan hati anak-anak kita. Di masa ketika masjid-masjid justru sibuk mengundang artis, kita perlu memperbanyak amal untuk memohon barakah Allah bagi kebaikan hidup kita dan anak-anak kita. Sesungguhnya Allah yang menggenggam hati manusia.
Semoga Allah mengampuni kelalaian kita. Semoga pula Allah menggerakkan hati kita untuk lebih mengingat-Nya, sehingga apa pun yang kita kerjakan mempunyai nilai di hadapan Allah. Semoga apa yang kita kerjakan sekarang, bisa menjadi bekal pulang ke kampung akhirat.
Telah berlalu masa orang-orang terdahulu. Setiap saat masa beralih dan zaman bertukar. Orang-orang yang dahulu berteriak lantang, sekarang mungkin sudah tinggal tulang belulang. Anak-anak yang dulu lucu-lucu, sekarang mungkin sudah menjadi penyejuk kalbu yang membawa haru karena tulusnya perjuangan mereka. Tetapi sebagian lagi mungkin justru menjadi penyebab airmata pilu para orangtua. Anak-anak yang dulu mengeja a-ba-ta-tsa, sekarang mungkin sedang aktif berdakwah. Tetapi sebagian lagi mungkin justru sedang sibuk menjual agama…
Masa berganti, zaman bertukar. Hanya hukum Allah yang tak pernah berubah, meskipun kita menggantinya setiap saat. Allah menyuruh kita mengambil pelajaran dari mereka yang telah pergi; baik mereka yang meninggalkan kebaikan maupun mereka yang membawa keburukan. Di dalamnya, ada hukum sejarah yang patut kita catat.
Ya… ya… ya… masa terus berganti. Kita tak bisa meminta anak-anak untuk menjadi seperti kita. Seperti nasihat ‘Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhahu, kita didik anak-anak kita untuk sebuah zaman yang bukan zaman kita. Terserah mereka akan jadi apa, yang penting ‘akidah, iman dan komitmen mereka sama dengan kita atau lebih teguh lagi.
Zaman bertukar dan dunia terus berubah. Pada masa kita kecil, alat pengirim berita paling cepat adalah telegram. Sekarang, ketika kita belum terlalu tua, telegram sudah tidak dipakai lagi. Telegram sudah menjadi teknologi yang ketinggalan zaman. Sekarang melalui perangkat kecil di tangan yang bernama komunikator, berita dari manca negara lengkap dengan fotonya bisa kita akses setiap saat. Anak-anak yang masih ingusan bisa mendapatkan ilmu-ilmu berharga lewat internet dengan kecepatan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Tetapi pada saat yang sama, lihatlah di bilik-bilik warnet itu, bagaimana sejumlah anak kaum muslimin sedang terombang-ambing di hadapan situs-situs porno.
Kita mungkin bisa mencegah dengan kekuasaan atas anak-anak itu. Tetapi apa yang sanggup kita kerjakan sesudah kita tiada? Tak ada. Itu sebabnya kita mulai perlu berpikir tentang bekal buat anak-anak kita sesudah jasad terkubur tanah. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ mengingatkan, “Dan hendaklah orang-orang pada takut kalau-kalau di belakang hari mereka meninggalkan keturunan yang lemah, dan mencemaskan (merasa ketakutan) akan mereka. Maka bertakwalah kepada Allah dan berkatalah dengan qaulan sadidan (perkataan yang benar).” (Q.s. an-Nisâ` [4]: 9).
Di tempat ini, kita sudah pernah berbincang tentang qaulan sadidan. Adapun tentang takwa, rasanya tak ada yang dapat saya sampaikan. Iman masih lemah, ilmu nyaris tak ada, sementara amal hampir-hampir tak ada yang dapat dibanggakan. Ingin sekali saya berpesan tentang takwa, tetapi saya lihat hati ini masih amat keruh. Padahal ketika Allah berpesan agar kita takut kalau-kalau di belakang hari meninggalkan generasi yang lemah, hanya dua yang menjadi jalan keluarnya, yakni takwa dan berbicara dengan perkataan yang benar.
Inilah dua hal yang amat sederhana, tetapi butuh perjuangan yang tak pernah usai. Seperti anak-anak kita kelak, setiap saat bertarung pada diri kita bisikan-bisikan kepada kesesatan dan bisikan-bisikan takwa. Fa alhamaha fujuraha wa taqwaha. Di hati kitalah semua bertarung.
Ya, dua hal itulah yang dapat kita harapkan menjadi bekal bagi anak-anak kita kelak. Bukan psikologi. Bukan sosiologi.
Semoga Allah kuatkan iman kita. Semoga pula Allah memperjalankan kita dalam takwa kepada-Nya. Semoga langkah kita senantiasa berada di atas niat yang kokoh dan tujuan yang baik. Semoga setiap langkah kita membawa kepada ridha-Nya dan meninggalkan bekas yang mantap di hati anak-anak dan keturunan kita, sehingga mereka senantiasa memenangkan bisikan takwanya.
Selebihnya, ada yang harus kita benahi. Tentang iman kita. Tentang ilmu kita. Juga tentang amal-amal kita.
Kepada Allah kita menggantungkan harapan. Hari-hari mendatang anak kita, di tengah tantangan yang semakin menakutkan, semoga dapat memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illallah. Semoga Allah memperjalankan mereka sebagai penolong-penolong- Nya. Allahumma amin.

By. Moh. Faudzil Adhim